FANATISME BUTA TERHADAP IRAN DAN BIAS INFORMASI DI MEDIA INDONESIA
![]() |
Gambar Ilustrasi: saluran media Indonesia dan ahli hukum internasional |
Dalam beberapa minggu terakhir, dinamika geopolitik di Timur
Tengah menjadi sorotan global, terlebih dalam ketegangan antara Iran dan
Israel. Namun, fenomena yang tidak kalah menarik, bahkan memprihatinkan adalah
munculnya kelompok Pengemar Iran (Fanboy Iran) di Indonesia, termasuk di
kalangan akademisi dan praktisi hukum internasional, yang secara
terang-terangan bersikap memihak kepada Iran dan menutup mata terhadap
fakta-fakta objektif yang terjadi di lapangan.
Banyak oknum pakar hukum internasional yang
seolah mengabaikan prinsip objektivitas ilmiah, dan justru menyampaikan narasi
politik yang berat sebelah. Kritik keras diarahkan hanya kepada Israel,
sementara agresi, provokasi, bahkan pelanggaran HAM yang dilakukan Iran
terhadap rakyatnya sendiri, atau melalui proksi militernya di kawasan timur
tengah, seperti: Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina dan Houthi di Yaman,
kerap didiamkan atau dianggap sebagai kelompok radikal yang sah. Padahal,
netralitas dan keadilan adalah prinsip utama dalam hukum internasional.
Lebih mengkhawatirkan, media arus utama di Indonesia kerap kali
memainkan peran yang tidak proporsional dalam memberitakan konflik yang melibatkan
Israel dan Iran. Banyak pemberitaan di tanah air yang terkesan menyuarakan
narasi anti-Israel secara berulang tanpa disertai data analisisi objektif ataupun keseimbangan sudut pandang. Tak jarang, informasi
yang beredar di ruang publik merupakan hoaks atau misinformasi, yang secara
langsung ingin membentuk opini publik yang bias dan tidak berdasarkan data
faktual.
Ironisnya, pemberitaan semacam ini sering kali menutup-nutupi
kenyataan dan kesan memberi dukungan kepada Iran dan jaringan proksinya, seperti
Hizbullah di Lebanon, Hamas dan jihad Islam di Gaza, hingga milisi Houthi di
Yaman, sebagai aktor utama dalam mengobarkan pemberontakan regional.
Iran secara terbuka membiayai, melatih, dan mempersenjatai kelompok-kelompok
ini, yang secara ideologis dan militer berkomitmen untuk menghancurkan Israel.
Pernyataan eksplisit dari rezim Iran yang menyebut "penghapusan Israel
dari peta dunia" sebagai tujuan strategis mereka, tidak bisa dianggap
enteng oleh
negara mana pun.
Dalam konteks ini, serangan-serangan presisi yang dilakukan Israel
terhadap fasilitas militer Iran, pusat pengembangan nuklir, serta tokoh-tokoh
kunci militer dan ilmuwan nuklir Iran, bukanlah tindakan agresi membabi buta,
melainkan langkah defensif yang sangat terukur untuk mencegah ancaman di kawasan.
Berdasarkan laporan International Atomic Energy Agency (IAEA),
program nuklir Iran telah menyalahi kesepakatan internasional, dan potensi
pengembangan senjata nuklir Iran merupakan ancaman serius tidak hanya bagi
Israel, tetapi juga bagi stabilitas kawasan Timur Tengah secara keseluruhan di kemudian.
Selama beberapa dekade, aktivitas proksi Iran di perbatasan utara
dan selatan Israel telah menyebabkan tindakan teror dengan ribuan serangan
roket terhadap wilayah penduduk sipil, yang jelas merupakan pelanggaran
terhadap hukum kemanusiaan
dalam lingkup internasional. Namun aspek ini kerap
tidak mendapat sorotan yang layak di media dalam negeri. Ketika media gagal
memberikan informasi yang utuh dan obyektif, publik kehilangan kemampuan untuk
membentuk opini berdasarkan fakta, dan justru terjebak dalam narasi manipulatif
yang dapat memperparah perbedaan pandangan atau pendapat secara global.
Sudah saatnya media Indonesia mengambil tanggung jawab etik untuk
menyiarkan fakta yang seimbang dan tidak berpihak secara ideologis. Dalam isu
global yang kompleks seperti konflik Israel-Iran, pendekatan media yang
berbasis data, analisis geopolitik yang jernih, serta kesadaran terhadap
ancaman nyata yang datang dari negara luar adalah keharusan mutlak.
Sebaliknya, media-media ini lebih senang
mengangkat propaganda keberhasilan Iran atau narasi perlawanan yang heroik,
padahal tidak sedikit dari informasi tersebut hanya bersumber dari saluran
media Iran yang dikendalikan rezim negara, dan cenderung menutup-nutupi
kerugian sebenarnya. Ini menciptakan penyimpangan (distorsi) realitas di tengah
masyarakat Indonesia, yang akhirnya memperkuat dukungan emosional dan ideologis
terhadap satu pihak, tanpa sikap kritis dan keseimbangan.
Sikap tidak selektif dalam membentuk opini
ini sangat berbahaya. Media tidak hanya menyesatkan publik, tetapi juga
menghancurkan integritas ilmiah dan jurnalisme yang seharusnya menjunjung
prinsip kebenaran. Dalam situasi konflik yang kompleks seperti ini, publik
membutuhkan informasi jernih, berimbang, dan berbasis fakta, bukan propaganda
yang hanya memperuncing perbedaan pandangan atau pendapat (polarisasi) antar
golongan.
Mendukung hak-hak kemanusiaan rakyat
Palestina atau mengecam pelanggaran Israel adalah sah-sah saja. Namun menjadi
buta terhadap kesalahan, kegagalan dan ancaman rezim Iran dan proksi-proksi
radikalnya, lalu membungkusnya dengan jargon perlawanan demi membenarkan semua
tindakannya, adalah bentuk kemunafikan intelektual dan etika media yang bobrok.
Sudah saatnya publik Indonesia lebih cerdas
dalam mencerna informasi, dan menuntut pertanggungjawaban dari media serta
oknum itelektual yang memainkan opini untuk agenda tertentu, bukan demi
edukasi, keadilan atau kebenaran perlu disajikan ke masyarakat.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentar dengan cara membangun